Penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk “hidupkan kembali” orang tercinta yang telah meninggal menjadi topik hangat dalam debat di China. Beberapa perusahaan teknologi di negara tersebut telah mengembangkan teknologi yang memungkinkan pengguna untuk membuat model AI berdasarkan data dan gambar yang dimiliki tentang seseorang yang telah meninggal.
Teknologi ini memungkinkan pengguna untuk “berbicara” dengan orang yang telah meninggal melalui pesan teks atau suara yang disintesis oleh AI. Selain itu, pengguna juga dapat “melihat” orang tersebut dalam bentuk avatar yang diciptakan oleh AI.
Meskipun teknologi ini menawarkan kesempatan untuk “menghidupkan kembali” orang tercinta secara virtual, banyak yang menentang penggunaan AI dalam hal ini. Mereka menganggap bahwa menggunakan AI untuk menciptakan replika orang yang telah meninggal adalah tidak etis dan dapat menimbulkan masalah psikologis bagi orang yang ditinggalkan.
Debat ini juga mencakup masalah privasi, di mana penggunaan data pribadi orang yang telah meninggal untuk membuat model AI dapat menimbulkan risiko kebocoran informasi yang sensitif.
Di sisi lain, pendukung teknologi ini berargumen bahwa penggunaan AI untuk “menghidupkan kembali” orang tercinta dapat memberikan penghiburan bagi orang yang berduka. Mereka berpendapat bahwa teknologi ini dapat membantu orang untuk merayakan dan mengenang kenangan bersama orang yang telah meninggal.
Dengan adanya perdebatan yang sengit ini, penting bagi pihak berwenang dan masyarakat untuk mempertimbangkan secara seksama implikasi etis dan privasi dari penggunaan AI dalam konteks ini. Sebagai negara yang terus berkembang dalam bidang teknologi, China perlu memastikan bahwa inovasi teknologi dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai moral dan etika yang berlaku dalam masyarakat.